“Katanya, kamu mau pergi kemanapun aku pergi kan?”
Ia yang sedang sibuk dengan buku bacaannya itu tanpa menoleh menjawab pertanyaanku dengan satu kata pertanyaan lagi, “Lalu?”
“Kita terjun sama sama, yuk.”
“Kenapa?”
“Apanya?”
Ia menatapku lekat-lekat, menaruh buku yang tadi ia pegang dimeja. “Kenapa sama-samanya harus mengambil memberhentikan takdir dan waktu dihidup kita berhenti secara dipaksa?”
“Karena kalau enggak dipaksakan, nanti aku bisa dipaksa bumi untuk hangus. Masalah yang diberikan bumi itu sangat rumit, lebih rumit dari apapun.”
“Misellia, aku akan ikut bersamamu, dimanapun kamu, sampai kapanpun, tapi tidak buat jatuh. Biarkan aku yang jadi penggenggam tanganmu, untuk menyelamatkan bidadariku jatuh. Karena dia sudah cukup jatuh dari surga, dia sudah seharusnya ada disampingku untuk bersamaku. Bukan jatuh dari surga untuk jatuh bersamaku.”
Ia memanggilku dengan sebutan Misellia, ketahuilah bahwa aku menyukainya. Lebih dari apapun, dan aku tidak ingin ia pergi, mau sebentar apapun kepergiannya. Karena aku sudah yakin bahwa ia akan tetap tinggal disampingku untuk setiap waktu, jadi aku akan sangat kacau kalau ia benar-benar hilang dari isi kepalaku sendiri.
Jangan tanya namanya siapa, aku biasa tidak memanggilnya dengan nama, karena aku ingin mengenalnya tanpa nama. Aku sendiri yang memutuskan untuk selalu mengenalnya tanpa sebutan khusus, karena aku yakin mengenal tidak harus sama-sama tau siapa namanya. Seperti ia yang tau namaku sedang aku tidak tau namanya.
Kalian bingung tidak? Aku yakin, kalian akan mengerti. Karena, sudah kubilang, ia adalah ilusi-ilusi yang kubuat sendiri. Ia bilang, ia akan mencintaiku sepenuh hati. Aku percaya padanya, karena ia belum pernah pergi sejak dua tahun lamanya tinggal didalam kepala seorang aku. Perempuan paling jelek didunia.
Kenapa aku bilang begitu? Karena semua orang bilang begitu. Mulai dari teman sampai teman yang paling dekat denganku. Satu kelas memang berisi sampai dua puluh delapan orang, tetapi yang bisa menerima kejelekanku cuma empat orang. Dan mereka berteman dekat denganku, walau aku tau, semuanya sudah tidak se-sehat hubungan persahabatan pada biasanya. Aku bahkan hampir lupa kalau aku dianggap oleh mereka sebagai sahabat. Karena mereka selalu dapat ranking lima besar yang bergantian. Sedangkan aku hanya dapat ranking enam atau paling tidak delapan. Dan mereka selalu bilang aku paling bodoh didalam lingkaran persahabatan itu. Mereka juga bilang aku paling jelek, aku tau itu.
Apa yang ada dipikiran kalian? Mereka bukan sahabat? Salah. Mereka tetap sahabatku, karena mereka mengatakan seperti apa yang orang-orang pada umumnya katakan. Itu sudah biasa kuterima, dan tidak akan ada lagi kata-kata menyakitkan bagiku. Karena aku sudah biasa menerima semuanya.
Dan aku selalu mengakui, aku jelek. Aku bodoh. Aku adalah perempuan tersial didunia. Aku seperti ada didunia yang asing. Yang tidak menerimaku, seolah seluruh isinya menolakku mentah-mentah.
Dari situ ceritanya dimulai. Memenjarakan diri sendiri didalam kegelapan yang penuh cahaya kebahagiaan namun fana itu, hadir.
Waktu itu, aku menangis dikamar, tidak tau kenapa, perasaanku memang hancur. Karena setiap kali melihat mereka dengan mudahnya diterima setiap orang, sedangkan aku, ah bahkan diriku sendiri enggan mengakui bahwa aku adalah aku. Pada dasarnya, aku memang kebal dengan perkataan yang mereka katakan. Tapi lama kelamaan, seseorang juga punya titik lemahnya bukan?
Didalam kepalaku, ketidak adilan hidup dibumi itu terus bermunculan. Dan aku rasanya ingin membunuh semua perkara itu, tapi apa daya. Bumi memang punya keadilan pada orang-orang yang pintar dan cantik.
Dari situ, ruangan ilusi ku menciptakan lebih dari sesuatu yang membuatku membaik. Teman. Bukan, ia bukan teman. Ia seseorang yang membuatku mencintai dan dicintai. Memang, jika kalian berpikir ini tidak masuk akal, silahkan berpikir seperti itu. Tapi dia seperti nyata menemani hari-hariku menjadi sempurna. Menolongku dalam beberapa keadaan terjahat. Menjawab pertanyaan-pertanyaan menyebalkan dari mulutku. Ia tidak dilihat oleh orang lain, tidak didengar, tapi aku merasakan kehadirannya, mendengar kata-katanya, bahkan melihat sosoknya.
Aku senang, ia terlahir dari isi kepalaku sendiri.
****
Tepat hari ini, aku duduk dikelas delapan. Artinya, sebentar lagi aku akan menduduki kelas sembilan atau kelas tiga di Sekolah Menengah Pertama, dan melawan musuh terbesar. Yaitu Ujian Nasional. Apa hanya aku yang menyebutnya musuh terbesar? Karena dipaksa untuk mengerti empat pelajaran, yang belum tentu semua orang akan sukses dengan angka dan angkaangka dari empat pelajaran itu.
“Misell,”
“Iya?”
“Menurutmu, Nugraha dalam novel KATA karya Rintiksedu, benar-benar ada tidak ya?”
“Aku yakin, pasti ada, cuma kita belum menemukannya,”
Ia tersenyum, tangannya tidak berhenti melukis di kanvas, lukisan sebuah cover dari novel KATA. Warna oranye yang mendominasi, ada kuning yang ia tambahkan, dan hitam di tengah-tengah, menggambarkan bentuk dua pasang manusia. Ia juga tak lupa menuliskan nama Rintiksedu, dan judul novelnya.
Dekat-dekat ini, pemilik akun Rintiksedu berhasil membuat jatuh cinta para remaja. Dengan hadirnya Nugraha dalam novel KATA, dan juga tidak lupa si Biru yang pandai membuat puisi, tapi menggantung Binta si peran utama. Ah, aku yakin, kalian sudah tidak ragu lagi pada Rintiksedu soal mengalunkan bahasanya disetiap ceritanya yang ia tuliskan.
Hari ini pelajaran Seni Budaya, kami diminta untuk melukis satu aliran seni lukis di kanvas. Satu bangku, dapat satu kanvas. Atau bisa dibilang, satu kanvas untuk dua orang. Jujur, aku suka bermain warna, tapi tidak dengan warna yang teratur. Aku lebih suka bermain warna, melukis kan warna warni catnya kedalam kanvas yang akan kulukiskan dengan abstrak. Jadi, sudah pasti Nadya yang akan mengerjakan semuanya sampai selesai. Karena aku hanya takut hasilnya jadi jelek dan sang pelukis paling handal dikelas itu akan marah jika hasilnya tidak sebagus apa yang ia ekspektasikan.
Ya sebenarnya, ia tidak akan marah sih, tapi aku lebih ingin membantunya jika dia butuh, jika tidak ya sudah. Artinya, dia bisa sendiri. Karena Nadya bukan orang pada umumnya, dia adalah orang yang tidak mau dibantu kalau dia tidak meminta bantuan.
“Bagus tidak?”
“Kapan karyamu jelek?”
“Ish, jangan mulai untuk memujiku!”
Aku tertawa, ia memang tidak suka dipuji, dan akan merasa bodo amat pada yang tidak suka kepadanya. Dia menginspirasiku akan banyak hal. Dia pernah bilang, kalau semua manusia itu punya mulut, jadi sudah tugasnya dia untuk bicara. Ya ada manusia yang tugasnya hanya mencibir padahal dirinya tak sebaik yang dia cibir, dan ada yang memuji orang lain padahal yang memuji lebih pantas untuk dipuji.
“Perlu bantuan tidak?”
“Sudah selesai tau!”
“Oh, telat ya aku menawarkan bantuannya?”
“Enggak sih, kamu kan selalu bantu aku ngerjain tugas selain Seni Budaya,” dia tertawa, sambil merapihkan alat-alat lukisnya.
Sambil membantunya, aku menggeleng. Si tukang ngegas ini memang teman paling baik yang bisa menerima semua kurangku. Dia juga rela tidak ditemani satu kelas hanya untuk menemaniku. Iya, dia pernah disuruh untuk menjauhiku sewaktu kelas tujuh, tapi dia memilih bersamaku dan dimusuhi satu kelas. Dia bahkan seseorang yang selalu menguatkanku, dalam keadaan apapun.
Jujur, aku pernah bingung. Terbuat dari apa hatinya. Terlalu lembut. Dan Orang yang menyakitinya adalah orang paling jahat sedunia. Karena ia terlalu berbeda untuk jadi manusia, hatinya terlalu baik untuk sejenis manusia. Ia juga sangat berbeda dengan empat sahabatku sewaktu aku duduk di Sekolah Dasar. Bahkan adanya Nadya, aku sadar bahwa mereka adalah sahabat yang selalu menganggapku seperti musuhnya sendiri.
“Oh iya, kakak kelas yang suka denganmu itu, bagaimana kabarnya?”
“Tidak ada yang menyukaiku, Nadya,”
“Bohong, jangan pura-pura bodoh. Satu sekolah sudah tau, kamu masih menganggap perasaannya bercanda.”
“Aku yakin, dia bohong. Lagian, mantannya saja cantik. Orang yang dekat dengannya, cantik. Ah intinya semuanya can—”
“Seperti kamu, cantik.”
“Tidak akan pernah! Aku tidak cantik,”
“Misellia, kenapa sih? Kamu harus sadar, semua orang iri melihatmu.” ia mendekat, memelankan nada bicaranya, “Satu kelas ini, yang suka dengan laki-laki pasti laki-laki itu akan menyukaimu atau bahkan mencoba mendekatimu.”
“Mereka hanya mau berteman,”
Apa sih yang diharapkan laki-laki sehingga mereka bisa menaruh perasaan untuk orang sepertiku? Pasti jawabannya tidak ada. Mereka cuma mau mengenal, lalu sewaktu sudah mengenal yasudah mereka akan meninggalkan. Karena aku yakin, mereka tidak akan pernah sanggup menerimaku. Lagian, kalau suka kayaknya tidak mungkin. Mereka ingin berteman denganku saja, itu sebuah ketidak mungkinan.
****
Sepulang sekolah, seperti biasa aku akan menunggu salah satu laki-laki yang isi kepalanya paling random tapi sanggup membuatku masuk kedalam pemikiran-pemikirannya yang sulit ditebak.
Tidak tau kenapa, setiap aku pulang sekolah, aku harus menunggunya, duduk di loby dekat lapangan parkir para guru. Sendirian. Anehnya juga, aku bisa mempercayai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Bukan percaya lagi, sudah sampai tahap menurut setiap apa yang ia katakan. Padahal ia hanya kukenal sebentar, karena waktu aku kelas tujuh, ia jadi pembimbing dikelasku sewaktu MPLS atau yang punya kepanjangan, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah.
Tidak tau sejak kapan ia ada dibelakangku, dan sudah memandangku dengan alisnya yang terangkat sebelah dan bibir yang ingin ku jotos karena ia seperti meledekku. Aku juga sedikit terkejut ketika aku melihat kebelakang ku.
“Sejak kapan ada dibelakang?”
“Mungkin lima belas menit lalu?”
“Masa?”
“Mungkin, artinya belum tentu juga. Bisa jadi lima menit atau baru saja.”
“Terserah deh,”
Ia menggandeng tanganku seperti biasa, memperlakukanku seperti anak kecil padahal umurku dan umurnya hanya berjarak dua tahun. Tapi ia sok jadi ayah yang menyayangi putri kecilnya. Aneh, tapi ia memang sehangat seorang ayah.
“Lama tidak menunggunya?”
“Tidak, seperti biasa,”
“Artinya lama, dong, gimana sih.” ia memukul pelan kepalaku.
Aku mendongak, lalu kembali memukul kepalanya seperti yang tadi ia lakukan. Ia tersenyum, “Dasar anak kecil,”
“Bisa tidak, tidak usah menyebutku anak kecil?”
“Makanya tinggi, biar kalau kita jalan berdua, tidak disebut ayah dan seorang anak lagi,”
“Awas ya, kalau nanti aku lebih tinggi!”
Setelah sampai dimana ia meletakkan motornya, ia hendak memakaikan helmnya kepadaku, lalu ku tolak seperti biasa. Manusia ini tidak ada bosan-bosannya ditolak oleh tanganku agar ia tidak memakaikan helmnya di kepalaku. Padahal, sudah dari awal sejak aku ikut dengannya, aku tidak suka ia memakaikan helm di kepalaku. Tidak sih, lebih tepatnya aku tidak suka pakai helm. Tapi ia selalu memaksa. Padahal jarak dari sekolah ke rumahku cuma dua koma lima kilo meter. Tapi katanya, untuk keselamatan. Sudahlah, kalau kalian kenal dengannya, maka semua hal yang dia lakukan akan membuat kalian geleng kepala. Makhluk paling aneh tapi juga menyenangkan. Menyebalkan tapi dari hal menyebalkannya itu yang membuat ketenangan ada dibumi.
Ia naik ke motornya dan aku pun begitu. Ia mulai menyalakan mesin motornya, tidak lama, ia langsung menjalankan motornya.
“Aku ingin melihatmu tersenyum,” ia menarik tanganku, hingga tanganku memeluk pinggangnya. Terlihat dari spionnya ia memandangku dengan senyumannya. Aku cuma menundukkan kepala, menyembunyikan kepalaku dibalik punggungnya.
Ia memang manusia nyata, yang seharusnya aku sadar bahwa ia bisa jadi sandaran paling nyaman. Dan seharusnya aku mematikan cintaku pada ilus—bentar, apa tadi? Misellia Arabella! Bicara sembarangan, ia tidak boleh kamu cintai, ia cukup jadi teman saja! Lagian seharusnya kamu sudah merasa cukup untuk mencintai dia yang benar-benar tulus walau keberadaannya tidak pernah bisa dilihat oleh manusia lainnya seperti laki-laki yang sedang kupeluk.
Kategori: Terjebak Ilusi
Prolog —Terjebak Ilusi
Sejujurnya, aku takut menuliskannya. Aku takut karena, artinya semua orang akan lihat cerita dibalik tulisan-tulisanku. Dan artinya juga, semua orang akan tau bahwa aku tidak pernah semenyenangkan itu untuk menerima bahwa semua ilusi-ilusiku jadi nyata. Aku takut. Takut, tapi aku ingin menuliskannya, karena aku percaya bahwa Semesta akan menyelamatkan orang-orang baik sebelum orang itu akan benar-benar terjebak seperti aku. Aku yakin dengan menuliskannya, artinya aku sedang berusaha memecahkan dinding-dinding jahat untuk keluar dari penjara paling menyedihkan yang dulu sengaja ku penjarakan diriku sendiri.
Sebelum kamu membacanya, percayalah bahwa kamu akan menemukan dunia baru didalam dunia nyata. Yang aku tau, ini tidak masuk akal. Tapi aku punya satu permohonan, berjanjilah, untuk selalu mencintai diri sendiri, memulai menerima indah bahkan kurangnya dirimu sendiri. Memaafkan atas segala kecewa yang kamu buat sendiri. Memaafkan atas kesalahan diri sendiri. Berjanjilah, sebelum kamu membacanya. Karena dengan berjanji seperti itu, kamu telah membantuku keluar dari dinding penjara di dalam ilusi sendiri.